Tuesday 1 July 2008

sejarah Islam Syiah

berikut ini adalah sejarah asal mula syiah,,,
bagi sunni, kehadiran yiah sering dianggap sebagai kangker yang menggerogoti islam..


SUMBER AJARAN SYIAH

Sebagaimana Ahlussunah memiliki kitab hadits yang berasal dari
Nabi,maka sebagai mazhab, syiah harus memiliki kitab-kitab yang
berisi sabda para imam ahlulbait, mereka yang wajib diikuti bagi
penganut syiah. Lalu mengapa syiah mengemukakan dalil dari kitabkitab
hadits sunni seperti shahih Bukhari dan Muslim? Mereka
menggunakan hadits-hadits itu dalam rangka mendebat ahlussunah,
bukan karena beriman pada isi hadits itu. Lalu apa saja rujukan syiah
Imamiyah?

Syiah Imamiyah menganggap sabda 12 imam ahlulbait sebagai ajaran
yang wajib diikuti, ini sesuai dengan ajaran mereka yang menganggap
12 imam ahlulbait sebagai penerus risalah Nabi. Sabda-sabda tersebut
tercantum dalam kitab-kitab syiah, namun sayangnya kitab-kitab itu
tidak begitu dikenal atau tepatnya sengaja tidak disebarluaskan oleh
penganut syiah di Nusantara.

Insya Allah kami akan memudahkan
pembaca untuk mendownload sebagian kitab rujukan mereka yang
memuat sabda-sabda para imam ahlulbait. Tapi pembaca pasti
penasaran untuk membaca sabda ahlulbait, karena salah satu murid
Imam Ja’far As Shadiq yang bernama Zurarah mengatakan dalam sebuah riwayat dari Al Kisyi yang meriwayatkan dalam bukunya
Rijalul Kisyi dengan sanadnya dari Muhammad bin Ziyad bin Abi
Umair dari Ali bin Atiyyah bahwa Zurarah berkata: jika aku
menceritakan seluruh yang kudengar dari Abu Abdillah (Ja’far
Asshadiq) maka laki-laki yang mendengar perkataan Imam Ja’far pasti
akan berdiri kemaluannya. Rijalul Kisyi hal 134 (kira-kira cerita apa
yang dibawa oleh Imam Ja’far sehingga membuat kemaluan berdiri?)
Sedangkan umat syiah mengatakan bahwa para imam mendapat ajaran
dari imam sebelumnya yang mendapatkan ajaran dari Nabi. Juga umat
syiah mengajarkan bahwa ajaran para imam harus diikuti. Tapi ternyata
imam yang satu ini suka mengajarkan cerita-cerita yang membuat
kemaluan berdiri. Jangan-jangan ajaran di atas sudah disensor. Lalu
bagaimana hukum menyensor ajaran ahlulbait yang wajib diikuti?

Literatur syiah yang dianggap sebagai literatur utama yang memuat
riwayat sabda ahlulbait ada 8 kitab utama, ulama mereka menyebutnya
dengan sebutan “al jawami’ ats tsamaniah” (kitab kumpulan yang
delapan) ini sesuai dengan yang tercantum dalam kitab Muftahul
Kutub Al Arba’ah jilid 1 hal 5 dan A’yanus Syiah jilid 1 hal 288. Dalam
makalahnya yang berjudul metode praktis untuk pendekatan sunnah syiah (dimuat dalam masalah Risalatus Islam, juga dimuat bersama
makalah lain yang diambil dari majalah yang sama dengan judul
“persatuan islam” hal 233, Muhammad Shaleh Al Ha’iri mengatakan:
kitab shahih imamiyah ada delapan, empat di antaranya di tulis oleh
tiga orang yang bernama Muhammad yang hidup terdahulu, tiga lagi
ditulis oleh tiga orang yang bernama Muhammad yang hidup setelah
tiga yang pertama, yang kedelapan ditulis oleh Al Husein Nuri
Thabrasi.

Kitab pertama dan yang tershahih di antara delapan kitab di atas
adalah Al Kafi. Ini seperti disebutkan dalam kitab Adz Dzari’ah jilid 17
hal 245, Mustadrak Al Wasa’il jilid 3 ha 432, Wasa’il Asy Syi’ah jilid 20
hal 71. kitab-kitab di atas menyebutkan bahwa kitab Al Kafi adalah
kitab yang tershahih dari empat kitab utama mereka, karena kitab Al
Kafi ditulis pada era Ghaibah Sughra, yang mana saat itu masih
mungkin untuk mengecek validitas riwayat yang ada dalam kitab itu.
karena pada era ghaibah sughra imam mahdi masih dapat dihubungi
melalui “duta yang empat” yang dapat berhubungan dengan imam
mahdi dan menerima seperlima bagian dari harta syiah.

Jumlah riwayat kitab Al Kafi ada 16099, seperti diterangkan dalam kitab
A’yanus Syi’ah jilid 1 hal 280. Kitab Al Kafi dijelaskan oleh para Ulama
Syi’ah, di antaranya adalah Al Majlisi –penulis Biharul Anwar- yang
menulis penjelasan kitab Al Kafi dan diberi judul Mir’aatul Uquul.
Dalam kitabnya itu Majlisi juga menilai validitas hadits Al Kafi, di
antara hadits yang dianggapnya shahih adalah hadits yang
menerangkan bahwa Al Qur’an telah diubah.

Berikut terjemahan
nukilan dari Mir’atul Uqul:
Abu Abdillah berkata: “Al Qur’an yang diturunkan Jibril kepada
Muhammad adalah 17 ribu ayat”. Al Kafi jilid 2 hal 463. Muhammad
Baqir Al Majlisi berkata bahwa riwayat ini adalah muwathaqah. Lihat
di Mir’atul Uqul jilid 2 hal 525.

Begitu juga ada kitab lain yang berisi penjelasan riwayat Al Kafi, yaitu
Syarh Jami’ yang ditulis oleh Al Mazindarani begitu juga terdapat kitab
yang berjudul As Syafi fi Syarhi Ushulil Kafi, ada lagi kitab yang
judulnya At Ta’liqah Ala Kitabil Kafi yang ditulis oleh Muhammad
Baqir Al Husaini, tapi hanya menjelaskan sampai Kitabul Hujjah saja.
Ada lagi kitab Al Hasyiyah Ala Ushulil Kafi karangan Rafi’uddin Muhammad bin Haidar An Na’ini, juga Badruddin bin Ahmad Al
Husaini Al Amili.

Kitab kedua adalah Man la Yahdhuruhul Faqih yang ditulis oleh
Muhammad bin Babawaih Al Qummi, yang juga dikenal dengan
sebutan As Shaduq, keterangan mengenai kitab ini adapat dilihat dalam
kitab Raudhatul Jannat jilid 6 hal 230-237, A’yanus Syi’ah jilid 1 hal 280,
juga dalam Muqaddimah kitab Man La Yahdhuruhul Faqih, kitab ini
memuat 176 bab, yang pertama adalah bab Thaharah dan ditutup
dengan bab Nawadir. Kitab ini memuat 9044 riwayat.

Disebutkan dalam pengantar bahwa penulisnya sengaja menghapus
sanad dari setiap riwayat agar tidak terlalu memperbanyak isi kitab,
juga disebutkan bahwa penulisnya mengambil riwayat untuk ditulis
dalam buku ini dari kitab-kitab yang terkenal dan dapat diandalkan,
penulis hanya mencantumkan riwayat yang diyakini validitasnya.
Ditambah lagi dengan kitab Tahdzibul Ahkam, keterangan mengenai
kitab ini dapat ditemui dalam kitab mustadrakul wasa’il jilid 4 hal 719,
kitab adzari’ah jilid 4 hal 504, juga dalam pengantar tahdzibul ahkam
sendiri. Kitab ini ditulis untuk memecahkan kontradiksi yang terjadi pada banyak sekali riwayat syiah, kitab ini berisi 393 bab. Mengenai
jumlah haditsnya akan kita bahas kemudian.

Begitu juga kitab Al Istibshar, yang terdiri dari tiga jilid, dua jilid
memuat bab ibadah, sementara pembahasan fiqih lainnya dicantumkan
pada jilid ketiga. Kitab ini memuat 393 bab, dalam kitabnya ini penulis
hanya mencantumkan 5511 hadits dan mengatakan: saya membatasinya
supaya tidak terjadi tambahan maupun pengurangan. Sementara dalam
kitab Adz Dzari’ah ila Tashanifisy Syi’ah disebutkan bahwa jumlah
haditsnya ada 6531, berbeda dengan penuturan penulisnya sendiri.
Silahkan dirujuk ke Ad Dzari’ah jilid 2 hal 14, A’yanus Syi’ah jilid 1 hal
280, pengantar Al Istibshar, tulisan Hasan Al Khurasan. Kedua kitab di
atas – Tahdzibul Ahkam dan Al Istibshar- adalah karya ulama tersohor
syiah yang bergelar “ Syaikhut Tha’ifah” yaitu Abu Ja’far Muhamamd
bin Hasan Al Thusi (wafat 360 H). Al Faidh Al Kasyani dalam Al Wafi
jilid 1 hal 11 mengatakan: seluruh hukum syar’i hari ini berporos pada
empat kitab pokok, yang seluruh riwayat yang ada di dalamnya
dianggap shahih oleh penulisnya.

Agho Barzak Tahrani – salah satu mujtahid syiah masa kini-
mengatakan dalam kitab Adz Dzari’ah jilid 2 hal 14 : empat kitab ditambah dengan kitab kumpulan hadits adalah dasar bagi hukum
syar’I hingga saat ini. Pada abad 11 Hijriah para ulama syiah menyusun
beberapa kitab, empat di antaranya disebut oleh ulama syiah hari ini
dengan : Al Majami’ Al Arba’ah Al Mutaakhirah” (empat kitab
kumpulan hadits belakangan); empat kitab itu adalah: Al Wafi yang
disusun oleh Muhamad bin Murtadha yang dikenal dengan julukan
Mulla Muhsin Al Faidh Al Kasyani –wafat tahun 1091 H– terdiri dari
tiga jilid tebal, dicetak di Iran, memuat 273 bab. Muhammad Bahrul
Ulum mengatakan bahwa kitab Al Wafi memuat 50 000 hadits (lihat
footnoote kitab Lu’lu’atul Bahrain hal 122) sementara Muhsin Al Amin
mengatakan bahwa Al Wafi memuat 44244 hadits, bisa dilihat dalam
A’yanus Syi’ah.

Lalu kitab Biharul Anwar Al Jami’ah Li Durar Akhbar Aimmatil At-har
karya Muhammad Baqir Al Majlisi –wafat tahun 1110 atau 1111 H-.
Ulama syiah menyatakan bahwa Biharul Anwar adalah kitab terbesar
yang memuat hadits dari kitab-kitab rujukan syiah, bisa dilihat
keterangan mengenai kitab ini dalam Adz Dzari’ah jilid 3 hal 27, juga
A’yanus Syi’ah jilid 1 hal 293. selain itu juga ada kitab wasa’ilus syi’ah
ila tahsil masa’ilisy syari’ah yang disusun oleh Muhammad bin Hasan Al Hurr Al Amili, yang dianggap sebagai kitab terlengkap yang
memuat hadits hukum fiqih bagi syiah imamiyah.
Dalam kitab ini terkumpul riwayat dari kitab empat utama dan
ditambah dengan riwayat lain dari kitab-kitab lain yang dianggap
sebagai rujukan, yang konon jumlahnya mencapai tujuh puluh kitabseperti
dikatakan oleh penulis kitab Adz Dzari’ah. Tetapi Syirazi dalam
pengantar kitab wasa’il menyebutkan jumlah kitab yang menjadi
rujukan adalah 180 kitab lebih, Al Hurr Al Amili menyebutkan juduljudul
kitab yang menjadi rujukannya yang berjumlah lebih dari delapan
puluh kitab, dia juga menyebutkan bahwa dia mengambil rujukan dari
kitab0kitab selain yang telah disebutkan, tetapi dia merujuknya dengan
perantaraan nukilan kitab lain. Silahkan merujuk pada Muqaddimatul
Wasa’il yang situlis oleh Asyirazi, begitu juga A’yanus Syi’ah jilid 1 hal
292-293, Adz Dzari’ah jilid 4 hal 352-353, Wasa’ilusy Syi’ah jilid 1 hal
408, jilid 20 hal 36-49.

Lalu kitab mustadrakul wasa’il wa mustanbtul masa’il yang disusun
oleh Husein Nuri Thabrasi –wafat 1320 H-. Agho Barzak Tahrani
mengatakan: kitab mustadrak wasa’il menjadi seperti kitab kumpulan
hadits lainnya yang harus ditelaah dan dijadikan rujukan oleh para mujtahid dalam memutuskan hukum syareat, kebanyakan ulama kami
saat ini tunduk mengikuti kitab itu. Lihat kitab Adz Dzari’ah jilid 2 hal
110-111. lalu Agho Barzak memperkuat pernyataannya dengan nukilan
dari ulama-ulama syiah yang menjadikan kitab mustadrak wasa’il
sebagai rujukan utama mereka. Adz Dzari’ah jilid 2 hal 111.
Jika pembaca merasa pernah mendengar nama Nuri Thabrasi, dia
adalah penyusun kitab Fashlul Khitab fi Itsbati Tahriifi Kitaabi Rabbil
Arbab – pemutus perkara, pembuktian bahwa kitab Tuhan telah
dirubah-, kitab itu menyebutkan dalil-dalil yang memperkuat pendapat
bahwa Al Qur’an yang ada hari ini telah diselewengkan dan diubah
oleh “tangan-tangan kotor”. Dalam muqaddimah mustadrakul wasa’il,
Agha Barzak Tahrani mengatakan : Dia adalah salah seorang imam ahli
hadits dan rijalul hadits di masa ini, termasuk jajaran ulama besar syiah
dan ulama besar islam di abad ini.
Bagaimana orang yang tidak beriman pada Al Qur’an menjadi ulama
besar syiah? Pada pengantar mustadrak wasa’il, Agha Barzak Thrani
mengatakan bahwa salah satu karya Husein Nuri Thabrasi adalah kitab
Fashlul Khitab.

Kita patut meragukan apakah sumber mereka masih orisinil atau sudah
dipermak sana sini. Dengan mengetahui validitas sumber sebuah
ajaran, kita bisa menilai validitas ajaran tersebut.
Ada beberapa kitab yang dianggap oleh syiah sejajar dengan kitab
empat di atas, artinya derajat validitas riwayatnya tidak berbeda,
sehingga kitab itu berisi dalil-dalil yang valid untuk penyimpulan
hukum syareat menurut syiah imamiyah. Hal ini seperti disebutkan
oleh Al Majlisi pada pengantar Biharul Anwar –bisa dilihat pada jilid 1
hal 26-: kitab-kitab karya Ash Shaduq –selain lima kitab- sama
terkenalnya dengan kitab empat. Majlisi meneruskan begitu; juga kitab
Basha’ir Darajat termasuk literatur pokok yang juga dijadikan
rujukan oleh Kulaini dan lainnya. Bisa dilihat di halaman yang sama,
Majlisi juga menyebutkan kitab-kitab lain yang sederajat dengan kitab
empat. Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Al Hurr Al Amili
dalam kitab Wasa’il Syi’ah jilid 20. juga dalam pengantar setiap kitab
disebutkan bahwa kitab itu sama validnya dengan kitab yang empat.
Nampaknya yang disebut adalah dua kitab itu, yaitu kitab-kitab As
Shaduq dan Bashair Darajat karena kitab-kitab itu adalah kitab-kitab
besar kumpulan hadits, atau bisa jadi juga untuk menyaingi mazhab ahlussunnah dan untuk sekedar promosi.

Nampak hal itu jelas ketika
kita melihat kitab Al Wafi dimasukkan ke delapan kitab rujukan utama,
dan kitab itu dianggap sebagai kitab tersendiri, padahal isi kitab Al
Wafi hanyalah kumpulan dari empat kitab utama (Al Kafi, Tahdzib, Al
Istibshar dan Man La Yahdhuruhul Faqih), mengapa dianggap sebagai
kitab baru, padahal isinya hanyalah pengulangan dari empat kitab yang
terdahulu. Ini semua dalam rangka membuat image bahwa syiah
memiliki banyak rujukan, padahal isinya itu-itu juga, pengulangan dari
empat kitab rujukan.

Begitu juga kitab AL Istibshar dianggap sebagai kitab tersendiri,
padahal kitab Al Istibshar hanyalah ringkasan dari kitab Tahdzibul
Ahkam, seperti dijelaskan oleh Thusi sendiri pada pengantar kitab Al
Istibshar – jilid 1 hal 2-3- begitu juga siapa saja yang menelaah kedua
kitab itu akan jelas mendapati bahwa kitab Al Istibshar hanyalah
ringkasan dari kitab Tahdzibul Ahkam. Semua ini jelas dalam rangka
promosi mazhab.

Begitu juga anda akan menemukan bahwa kitab Biharul Anwar karya
asli penulisnya hanya sebanyak 25 jilid, lalu karena jilid ke 25 nampak
terlalu besar maka dipisah menjadi 2 jilid, akhirnya jumlah keseluruhan kitab Biharul Anwar hanyalah 26 jilid. Bisa dilihat hal ini dalam kitab
Dzari’ah jilid 3 hal 27. Tetapi kitab Biharul Anwar hari ini berjumlah
110 jilid, dimulai dari jilid 0, supaya nampak intelek. Pembaca yang
“intelek” akan bertanya-tanya tentang asal tambahan kitab Biharul
Anwar dari jilid 27 sampe jilid 110, hasil karya Majlisi sendiri –yang
menulis 26 jilid- atau ada tangan-tangan lain yang menambah supaya
nampak tebal?

Syiah memang senang sekali dengan yang demikian, biasanya ada
sekelompok orang yang digaji khusus oleh hauzah ilmiyah untuk
menulis sebuah buku, lalu buku itu dibuat seolah ditulis oleh satu
orang, seakan orang itu menulis buku yang besar yang sangat sulit
utnuk ditulis oleh sendirian, seperti bisa kita perhatikan kitab Al Ghadir
– yang konon ditulis oleh seorang bernama Abdul Husein Al Amini-,
selain itu syiah juga gemar mengaku-aku, bahwa syiah adalah pionir
dalam semua cabang ilmu, padahal pengetahuan mereka hanyalah
mengambil dari kitab-kitab Ahlussunnah, mereka memiliki pendapatpendapat
aneh yang membongkar kebohongan mereka. Dalam kitab
A’yanus Syi’ah banyak sekali ulama ahlussunnah yang dianggap
sebagai syiah imamiyah hanya karena mereka memiliki sedikit
kecondongan kepada Ali, padahal hal demikian itu tidak sampai membuat mereka masuk menjadi syiah rafidhah, karena kecintaan
ahlussunnah pada ahlulbait adalah kecintaan sejati, lebih dari kecintaan
syiah rafidhah pada ahlulbait.

Isi kitab-kitab utama syiah hanyalah maslah fiqih, kecuali dua jilid
pertama dari kitab Al Kafi memuat tentang akidah syiah. Jika kita
perhatikan, isi kitab fiqih mereka mirip dengan fiqih ahlussunnah,
membuat kita makin percaya dengan keterangan para ulama yang
menyebutkan bahwa ulama syiah banyak yang mencontek kitab
ahlusunnah, di antaranya adalah Ibnu Taimiyah dalam
Minhajussunnah jilid 3 hal 264. Syiah memiliki pendapat-pendapat
aneh dalam fiqih, yang berbeda dengan ulama ahlusunah, pendapatpendapat
itu kadang begitu aneh dan tak terbayangkan bahwa
pendapat-pendapat itu perlu ditulis dalam kitab tersendiri. Asy Syarif
Al Murtadha mengumpulkan pendapat-pendapat syiah yang berbeda
dengan ulama ahlussunah dalam kitabnya Al Intishar.

Sebagai selingan, tidak ada salahnya bila kita menyimak sedikit
pendapat-pendapat yang hanya dimiliki oleh syiah dari kitab Al
Intishar:
Keluar Madhi dan Wady tidak membatalkan wudhu – hal 119
Wajib mengucapkan Hayya Ala Khairil Amal dalam adzan – hal 137
Wajib hukumnya shalat gerhana matahari maupun bulan, siapa yang
ketinggalan harus mengqadha’ – hal 173
Barangsiapa berpuasa ramadhan dalam keadaan musafir maka harus
membayar puasanya – hal 190 –kasihan sungguh-
Orang sakit yang memaksakan diri berpuasa di bulan Ramadhan –
padahal dia dibolehkan untuk tidak berpuasa- maka puasanya tidak
sah dan tetap harus mengqadha’ – hal 192
Jika menemukan bangkai ikan di tepi sungai, sedangkan dia tidak tahu
apakah ikan tersebut mati atau disembelih, maka dicelupkan di air, jika
ikan tersebut mengambang di atas dadanya maka ikan itu disembelih,
jika mengambang di atas punggungnya maka ikan itu mati dengan
sendirinya tanpa disembelih – hal 402 [dimana letak perbedaan antara
punggung dan dada ikan?]
Sembelihan ahli kitab haram dimakan – hal 403
Haram memakan makanan buatan orang kafir – hal 409
Ibnu Aqil Al Hanbali menukil pendapat-pendapat itu dan dia pun
merasa heran, tulisan Ibnu Aqil dinukil juga oleh Ibnul Jauzi dalam
kitab Al Muntazham –jilid 8 hal 120- juga Ibnul Jauzi menuliskan dalam
Al Maudhu’at: Rafidhah telah membuat kitab fiqih yang mereka sebut
sebagai mazhab imamiyah, di dalamnya memuat pendapat yang
menyimpang dari ijma’ kaum muslimin tanpa dalil apa pun. Lihat Al
Maudhu’at jilid 1 hal 338.
Sementara bahasan lain yang terdapat dalam Al Kafi dan Biharul
Anwar adalah tentang tauhid, al adl , imamah.. kebanyakan berisi
keyakinan mereka tentang imamah dan para imam yang dua belas,
tentang penunjukan mereka dari Allah, sifat-sifat para imam, kisah
hidup mereka dan keutamaan berziarah ke kubur mereka. Begitu juga
membahas tentang musuh para imam, terutama para sahabat Nabi
SAAW, jika kita perhatikan, mayoritas bahasan adalah tentang imamah
dan para imam.

Pembaca yang menelaah kitab hadits syiah akan mendapati jurang
perbedaan antara kitab hadits syiah dan kitab hadits ahlussunnah,
begitu juga perbedaan yang ada para riwayat ahlussunnah dan syiah
imamiyah. Kitab sunnah yang meriwayatkan hadits, hanyalah meriwayatkan hadits Nabi, dan hanya hadits Nabi-lah yang disebut
dengan hadits. Sedangkan kitab hadits syiah mayoritas memuat riwayat
dari salah satu dari dua belas imam mereka, selain itu mereka juga
berkeyakinan bahwa riwayat yang berasal dari imam sama dengan
riwayat yang berasal dari Nabi, artinya sabda imam sama seperti sabda
Nabi.

Jika kita perhatikan kitab hadits syiah, kita akan menemukan bahwa
hadits yang berasal dari Nabi sangatlah sedikit, sedangkan mayoritas
riwayat Al Kafi adalah dari Ja’far Ash Shadiq, sangat jarang sekali yang
berasal dari ayahnya Muhammad Al Baqir, apalagi yang berasal dari
Amirul Mukminin Ali, jumlahnya lebih sedikit, begitu juga yang
berasal dari Nabi SAAW, jauh lebih sedikit
Begitu juga kita perhatikan, empat kitab utama syiah disusun pada
abad ke sebelas Hijriyah, dan setelahnya, yang terakhir ditulis oleh
Husein Nuri Thabrasi, -judulnya Mustadrakul Wasa’il- yang wafat
tahun 1320 H –hidup sejaman dengan syaikh Muhammad Abduh-
Kitab itu memuat 23000 hadits dari para imam syiah [lihat Ad Dzari’ah
jilid 7 hal 21] yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Kitab itu
ditulis ratusan tahun setelah wafatnya para imam, jika memang benar kitab itu berisi riwayat bersanad dari para imam bagaimana orang
berakal bisa percaya pada riwayat yang belum pernah ditulis sejak 11
abad atau 13 abad lalu ? jika memang riwayat itu tertulis dalam kitab,
mengapa kitab itu baru ditemukan di abad 14 Hijriah?
Sebagian penulis kitab syiah menyatakan bahwa merka menemukan
buku yang belum pernah ditemukan sebelumnya, Al Majlisi
mengatakan: Alhamdulillah, di depan kami terkumpul sebanyak 200
judul buku, seluruh isinya telah kunukil dalam Biharul Anwar, [lihat
I’tiqadat Al Majlisi hal. 24, lihat juga Al Fikr Asy Syi’I hal. 61]sementara
Al Hurr Al Amili menyatakan bahwa dirinya memiliki delapan puluh
kitab selain empat kitab rujukan mereka, isi kitab-kitab itu dituliskan
dalam Wasa’ilusy Syi’ah [lihat Wasa’ilusy Syi’ah jilid 1, pengantar. Juga
lihat Adz Dzari’ah jilid 4 hal 352-353].

Begitu juga Nuri Thabrasi ikutan mengklaim bahwa dirinya
menemukan kitab-kitab yang belum pernah ditulis sebelumnya
walaupun dirinya hidup di abad 14 Hijriyah, Agho BArzak Tahrani
mengatakan: hal yang mendorong Husein Nuri Thabrasi untuk menulis
mustadrak Al Wasa’il adalah karena Thabrasi menemukan kitab-kitab
penting yang belum pernah ditulis dalam kitab-kitab kumpulan hadits
syiah sebelumnya [lihat Ad Dzari’ah jilid 21 hal 7]. Ulama syiah menganggap hadits-hadits baru hasil penemuan Nuri Thabrasi yang
dituliskan dalam Mustadrak Al Wasa’il sebagai hadits-hadits yang
sangat penting dan diperlukan, tidak bisa ditinggalkan, ulama syiah
yang bernama Al Khurasani –seperti dinukil dalam Adz Dzari’ah-
mengatakan: setiap mujtahid tidak boleh berijtihad sebelum merujuk ke
kitab Mustadrak Al Wasa’il dan menelaah hadits-hadits yang termuat
di dalamnya, [lihat Ad Dzari’ah jilid 2 hal 111], apakah ini berarti
sebelum adanya kitab Mustadrak Al Wasa’il ucapan ulama mereka
tidak dapat dijadikan pegangan? Silahkan anda merasa heran,
barangkali masih ada lagi hadits yang baru ditemukan.

Riwayat-riwayat itu tidak ditemukan di literatur kuno syiah, mengapa
demikian? Mengapa Kulaini tidak meriwayatkannya padahal dia dapat
menghubungi empat “dubes” imam Mahdi?Kulaini memberi judul
kitabnya dengan Al Kafi karnea dianggapnya cukup bagi syiah, bahkan
kitab Al Kafi telah ditunjukkan kepada imam Mahdi –yang
bersembunyi hingga hari ini- melalui “duta besar ”, kemudian Imam
Mahdi memberikan komentar: kitab ini cukup bagi syiah kami, begitu
juga At Thusi menyatakan, bahwa dirinya mengumpulkan haditshadits
syiah yang berkaitan dengan fiqih dari kitab-kitab literatur inti syiah, dalam kitabnya Tahdzibul Ahkam, tidak ada yang terlewatkan
kecuali hanya sedikit saja [lihat Al Istibshar jilid 1 hal 2].
Apakah kitab-kitab ini ditulis pada era dinasti shafavid di iran lalu
ditulis atas nama para ulama klasik syiah? Bisa jadi, dan sangat
mungkin.

Bahkan empat kitab syiah yang utama [Al Kafi, Tahdzibul Ahkam, Al
Istibshar dan Man La Yahdhuruhul Faqih] tidak luput dari tambahan
dari tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Salah satu buktinya, bisa
dilihat dalam kitab Ad Dzari’ah –jiild 4 hal 504- dan A’yanus Syi’ah –
jilid 1 hal 288- juga keterangan ulama syiah hari ini, bahwa jumlah
hadits Tahdzibul Ahkam adalah 13950 hadits, tetapi penulisnya sendiri
menyatakan dalam kitab Iddatul Ushul [jilid 1 hal 139 ,cetakan sitarah-
Qum] bahwa jumlah hadits Tahdzibul Ahkam hanya 5000 lebih, artinya
tidak mencapai jumlah 6000. bisa dilihat dalam kitab Al Imam As
Shadiq hal 485.

Ternyata jumlah hadits Tahdzibul Ahkam bertambah lebih dari dua kali
lipat, inilah bukti nyata yang ada di depan mata. Begitu juga ulama
syiah masih berbeda pendapat, apakah kitab Raudhatul Kafi –kitab Al
Kafi jilid 8- termasuk dalam kitab Al Kafi yang ditulis oleh Kulaini,ataukah merupakan tambahan yang ditulis setelah kitab Al Kafi, bisa
dilihat dalam kitab Raudhatul Jannat jilid 6hal 176-188, seolah-olah
penambahan dalam kitab adalah hal biasa dan sangat mungkin terjadi..
Yang lebih berbahaya, seorang ulama syiah terkemuka yang bernama
Husein bin Haidar Al Karki Al Amili [wafat th 1076 H] mengatakan:
kitab Al kafi berjumlah lima puluh jilid, memuat riwayat dengan sanad
yang bersambung pada para imam [Raudhatul Jannat jilid 6 hal 114],
sementara Thusi [wafat 360 h] mengatakan bahwa kitab Al Kafi
berjumlah 30 jilid,…. [lihat Al Fahrasat hal 161].

Apakah kitab Al Kafi mengalami penambahan selama kurun waktu
antara abad ke lima dan sebelas hijiriyah? Tambahannya pun bukan
sedikit, tapi 20 jilid, padahal setiap jilid terdiri dari banyak bab yang
memuat banyak hadits. Mungkin hal ini tidak menjadi masalah bagi
syiah, jika mereka berani memalsu riwayat dari Nabi SAAW dan
Ahlulbait, mestinya memalsu buku dari gurunya bukanlah hal susah,
bukti dalam hal ini sangat banyak, yang kami paparkan sudah cukup
bagi mereka yang mau menggunakan akalnya yang masih sehat. Kita
tanyakan lagi pada penganut syiah, mana sumber ajaran agama kalian?
Kalian banyak menggunakan logika dan mantiq karena miskin dalil naqli, apalagi setelah tahu bahwa kitab literatur kalian terbukti masih harus diragukan lagi validitasnya.

No comments: